Wednesday, August 28, 2019



“Bukan apa yang dapat kita terima, tapi apa yang bisa kita berikan.”

Penggalan lirik lagu Anak Garuda yang diaransemen ulang oleh grup band Cokelat di atas mengingatkan pendengarnya untuk lebih banyak memberi dibandingkan menerima. Setidaknya hal ini adalah hal dasar dalam karakter manusia.

Sekolah sebagai wadah belajar mengajar, tidak luput dari tugas pembentukan karakter siswanya. Namun nyatanya, kebanyakan sekolah masih mengutamakan nilai akademis dibandingkan dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah kegiatan pembelajaran yang ditujukan untuk membentuk individu secara terus-menerus serta melatih siswa untuk dapat memiliki karakter pribadi yang lebih baik. 

Pendidikan karakter akan berkaitan erat dengan skill, budi pekerti, serta agama.
Pendidikan karakter dianggap sangat penting karena pendidikan ini akan berorientasi pada aktivitas siswa dengan suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan, membangkitkan minat belajar, dan merangsang kreativitas, imajinasi dan inovasi. Pendidikan karakter mampu melatih siswa dalam menghadapi segala tantangan dalam hidup.



Salah satu sekolah yang menanamkan pendidikan karakter adalah SMA Selamat Pagi Indonesia. Penyelenggaraan pembelajaran yang dilakukan berbasis life skill atau kecakapan hidup, dengan tujuan mempersiapkan siswanya untuk terjun dalam kehidupan bermasyarakat. SMA Selamat Pagi Indonesia menerapkan penilaian secara PAKSA (Pray, Attitude, Knowledge, Skill dan Action). Siswa sangat dipersiapkan untuk dapat bersaing di era global dengan menggunakan media pembelajaran yang berbasis teknologi.



SMA Selamat Pagi Indonesia memberikan pendidikan yang cukup berbeda di Indonesia. Pembelajaran yang dilakukan berbasis metode experiential learning, di mana pembelajaran dilakukan tidak hanya di dalam kelas secara teoritik, namun juga di luar kelas, dengan meningkatkan keunggulan bidang-bidang non akademis dan ekstrakurikuler.

Sekolah  seperti SMA Selamat Pagi Indonesia inilah yang saat ini dibutuhkan di Indonesia. Pendidikan Indonesia terkadang terlalu memikirkan nilai-nilai teoritis, hingga melupakan nilai praktis yang sejatinya lebih digunakan dalam kehidupan.